Perempuan Dalam Beranda
Sunday, May 3, 2020
Edit
Perempuan Dalam Beranda - Hallo sahabat Rahasia Rumus Pendidikan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Perempuan Dalam Beranda, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Cerpen, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Perempuan Dalam Beranda
link : Perempuan Dalam Beranda

Perempuan itu suka duduk di beranda. Duduk di sebuah dingklik rotan memandangi depan rumah tanpa halaman. Di depan beranda hanya pagar untuk membatasi antara rumah dan jalan. Ia paling suka duduk di beranda ketika pagi dan sore hari. Tak ada suguhan kopi ataupun teh kalau ia sedang duduk di beranda. Hanya tatapannya saja yang tampak berisi menikmati pemandangan di depan rumah dan tangannya sekali-kali membuka buku kecil yang selalu dibawanya Tampak hilir pulang kampung kendaraan dari arah kiri dan kanan. Terkadang bunyi tukang sayur dan penjual bubur ayam menjadi pendongeng pagi di setiap sela kanan kiri telinganya.
Seperti pagi itu. Ia tampak menikmati keramaian di depan rumahnya. Dingin pagi hari di animo kemarau begitu menggigit kulit, namun ia tetap suka duduk dalam beranda. Ia percaya bahwa udara pagi yang tersinar matahari cukup untuk menghangatkan tubuh. Senyumnya begitu indah dengan balutan jilbab putih yang rapi. Tampak estetis sekali kalau ada seorang pelukis yang mau melukisnya dalam beranda di pagi itu. Sebuah bunyi menelusuri lekukan rongga telinganya. Ia pun bangun dari duduknya, menjauh dari beranda, mendekati bunyi itu.
“Dua mangkuk pak”
“Baik Neng”
Dua mangkuk bubur ayam sudah berada dalam tangan Nisa. Ia masuk ke rumahnya. Menyantap hangat bubur ayam bersama suaminya tercinta. Dan sesudah itu, ia duduk kembali dalam beranda. Duduk di sana. Suaminya tiba menghampiri. Nisa bangun dari duduknya dan menyalami dan mencium lembut tangan suaminya dan berakhirlah adegan mesra itu dengan ucapan assalamualaikum oleh suaminya dan tanggapan wa’alaikum salam oleh Nisa.
Seperti tak ada yang lain dilakukan Nisa. Ia kembali duduk dalam beranda. Kini ia sambil memandangi sebuah bunga mawar. Bunga mawar dengan sebuah mahkota yang beberapa hari kemudian mekar merah merekah dan sekarang mulai kecoklatan tanda usia menua. Mungkin beberapa hari lagi bunga itu akan layu kemudian kering. Seperti halnya insan semakin lama maka akan semakin layu sayu kemudian menghadap sang illahi.
Orang-orang tidak tahu mengapa Nisa suka duduk dalam beranda. Bisa dikatakan ia jatuh cinta pada beranda. Namun apa yang membuatnya jatuh cinta. Di sana ia jarang duduk bersama suaminya. Tak ada tanaman hias kecuali bunga mawar yang sudah mulai layu. Tak ada taman dengan bak ikannya. Lantas apa yang membuatnya jatuh cinta pada beranda. Atau ia suka beranda alasannya ialah pengucapannya hampir sama dengan keranda. Dengan kata lain ia rindu terhadap surga. Taman firdaus Allah yang selalu dirindukan oleh umat-Nya yang beriman. Itu mungkin saja, kerena dunia penuh dengan kemungkinan.
Seorang nenek penjual sayur keliling menghampirinya.
“Kenapa suka duduk di beranda sendirian Neng? Tidak baik untuk seorang wanita bersuami ibarat Neng ini”
“Tidak kenapa-napa Nek!, saya sedang menunggu suami pulang”
“Kan sanggup di dalam rumah Neng!”
“Saya ingin suami saya ketika kembali dari bekerja, yang pertama dilihatnya ialah saya Nek. Saya akan merasa bersalah ketika suami saya kembali bekerja dan yang pertama dilihatnya ialah beranda rumah yang kosong”
Tak ada suatu tanggapan yang memuaskan dari Nisa. Nenek itu seakan tidak percaya dengan alasan tersebut. Semesra-mesranya suami istri, akan tampak berlebihan kalau seorang istri melewatkan hampir seluruh hari dengan selalu duduk di beranda hanya untuk menunggu suaminya tiba dari bekerja.
Kemudian tiba salah seorang ibu yang tak lain ialah tetangga Nisa yang berada di sebelah rumahnya. Dengan percakapan pengiring ringan yang tak terlalu lama. Ibu itu mengumpulkan sebuah keberanian yang telah lama dipendamnya untuk bertanya pada Nisa. Nisa hanya menjawab sama persis dengan tanggapan yang diberikan nenek penjual sayur tadi.
Tidak hanya satu dua orang itu yang suka menanyai ihwal kebiasaanya duduk di beranda. Banyak yang telah bertanya padanya, namun hanya tanggapan yang sama mereka terima. Tidak lebih dari tanggapan bahwa Nisa menunggu suaminya pulang.
Tidak puas dengan tanggapan yang sama. Maka orang-orang pun mencoba bertanya pada suami Nisa. Lelaki yang populer sikapnya yang agak keras itu pun menjawab sama dengan apa yang dikatakan Nisa. Dan inilah alasan menciptakan suami Nisa bersikap keras terhadap orang-orang di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya selalu mengejar-ngejar apa yang harus menjadi kepentingan pribadinya. Bersikap suuzon terhadap istri dan dirinya sendiri. Bahkan pernah ada suatu pembicaraan bahwa istrinya itu kurang waras dan kurang kerjaan alasannya ialah ia sebagian besar waktunya dihabiskan dengan hanya duduk di beranda dan sesekali membaca buku kecil yang selalu dibawanya. Suami mana yang tidak merasa panas dengan tuduhan ibarat ini? Namun sekeras apa pun dia, terhadap Nisa ia selalu lembut dan tak ada sekat yang membatasi kasih sayang untuk istrinya yang gres dinikahi satu tahun yang lalu.
Senja tiba bersama alunan bunyi azan magrib yang juga turut andil menidurkan mata ayam-ayam yang telah berkeliaran sehari penuh. Di beranda itu, Nisa menyambut suaminya kembali dari daerah kerja. Dengan anggun senyumnya, ia menjawab salam suaminya. Seolah-olah itu ialah senyum bidadari dari surga.
Setelah berganti baju, suaminya mengambil air wudhu dan disusul juga oleh Nisa. Mereka salat magrib secara jamaah. Rumah yang ditempati Nisa bersama suaminya memang kecil. Satu ruang tamu yang sempit, dapur, dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Untuk tetap mengingat dan beribadah kepada Tuhan. Mereka menimbulkan sebuah kamar untuk dijadikan daerah salat. Semacam musala pribadi di dalam rumah.
Selesai salat, keduanya makan malam.
“Ini mas, opor kesukaanmu buatan Bu Darsi yang sebelumnya sudah saya hangatkan”
“Bukan kesukaanku tapi kesukaanmu juga”
Tampak sekali kebahagiaan menyelimuti kedua pasang insan suami istri tersebut. Dan malam semakin meninggi. Sudah waktunya insan-insan terbuai dalam lelap.
Malam itu Nisa tak sanggup tidur dengan nyenyak. Di pandanginya wajah suaminya yang tertidur pulas di sampingnya di antara remang ruang. Hanya sekelumit cahaya dari luar yang masuk dari celah jendela kamar, alasannya ialah lampu kamar di matikan. Nisa gelisah dan tak sanggup tidur. Dengan menajamkan sorot matanya, ia mencoba melihat jam dinding yang tergantung di tembok.
Jam sudah mengatakan pukul dua dini hari. Dari beranjak tidur jam sembilan tadi. Ia hanya memejamkan mata namun alam sadarnya tetap terjaga. Suara-suara orang yang kerap bertanya ihwal kesukaanya di beranda itulah yang membuatnya gelisah. Intuisi menggerakkannya untuk keluar dari kamar. Ia menuju ke beranda. Tampak mata yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang. Entah aura apa yang ada dalam beranda itu, sehingga sanggup dengan gampang menyepuh dan melepaskan kegelisahan yang menggerogoti separuh malamnya.
Ia duduk memandangi jalanan yang melenggang sepi di depan rumahnya. Suara serangga malam menjadi lantunan alam yang meneduhkan pikirannya. Tak berapa lama, matanya berkaca-kaca. Satu dua tetes air mata mengalir melewati lembah pipinya yang begitu halus. Berulang kali ia mengucap astagfirullah… astagfirullah…. astagfirullah..!
Ia masuk ke dalam rumah. Dan tak lama kemudian ia kembali ke beranda dengan sajadah dan mukena putih bersih. Raut wajahnya tampak segar sesudah tersiram sucinya air wudhu. Di beranda itulah ia bertahajud. Bermunajat ihwal apa yang harus ia lakukan dalam hidupnya. Meminta ampunan dan ridha dari Allah semoga diberi petunjuk dan jalan yang lurus. Dalam sejuknya udara dini hari, ia melantunkan dzikir-dzikir kudus. Sepoi dini hari pun ikut bertasbih memuja penguasa alam dengan desis lirihnya. Doa Nisa beriring dengan tetes air mata. Suci air matanya, sesuci bening hatinya dalam meminta derma Allah.
Cahaya mentari pagi pun tiba kembali berkejar dengan kicauan burung-burung yang akan menjelajahi dunia. Nisa sudah duduk dalam berandanya. Dan pagi itu. Ia kembali di datangi seorang ibu dengan badan yang agak tambun. Jilbab coklat bau tanah yang dikenakan ibu itu,tampak sudah usang, namun tetap membawa sebuah aroma seorang muslimah. Seperti orang-orang yang mendatangi Nisa sebelumnya, ibu itu juga bertanya hal yang sama terhadap Nisa.
“Mengapa kamu suka duduk di beranda?”
Kali ini Nisa tak eksklusif menjawab dengan tanggapan yang sudah biasa ia lontarkan. Ia termenung lama. Wajah ibu itu ibarat wajah mendiang ibunya. Suara dari ibu itu ibarat telah meluluhkan hatinya untuk tidak menjawab dengan tanggapan yang biasa. Walaupun gotong royong tanggapan yang sering ia lontarkan tidak ada sekecilpun kebohongan di dalamnya. Namun ada satu tanggapan yang sangat berat ia lontarkan yang selalu dipendamnya selama ini. Dengan bunyi serak hasilnya ia menjawab pertanyaan itu.
“Saya suka di beranda alasannya ialah saya tidak suka di dapur”
“Jadi kamu tak sanggup memasak?”
Nisa mengangguk pelan seiring indah matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata.
Surakarta, 9 Mei 2008
Sebuah inspirator untuk seseorang calon pendamping hidup
gambar dari: i203.photobucket.com
Anda sekarang membaca artikel Perempuan Dalam Beranda dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/05/perempuan-dalam-beranda.html
Judul : Perempuan Dalam Beranda
Perempuan Dalam Beranda

Perempuan itu suka duduk di beranda. Duduk di sebuah dingklik rotan memandangi depan rumah tanpa halaman. Di depan beranda hanya pagar untuk membatasi antara rumah dan jalan. Ia paling suka duduk di beranda ketika pagi dan sore hari. Tak ada suguhan kopi ataupun teh kalau ia sedang duduk di beranda. Hanya tatapannya saja yang tampak berisi menikmati pemandangan di depan rumah dan tangannya sekali-kali membuka buku kecil yang selalu dibawanya Tampak hilir pulang kampung kendaraan dari arah kiri dan kanan. Terkadang bunyi tukang sayur dan penjual bubur ayam menjadi pendongeng pagi di setiap sela kanan kiri telinganya.
Seperti pagi itu. Ia tampak menikmati keramaian di depan rumahnya. Dingin pagi hari di animo kemarau begitu menggigit kulit, namun ia tetap suka duduk dalam beranda. Ia percaya bahwa udara pagi yang tersinar matahari cukup untuk menghangatkan tubuh. Senyumnya begitu indah dengan balutan jilbab putih yang rapi. Tampak estetis sekali kalau ada seorang pelukis yang mau melukisnya dalam beranda di pagi itu. Sebuah bunyi menelusuri lekukan rongga telinganya. Ia pun bangun dari duduknya, menjauh dari beranda, mendekati bunyi itu.
“Dua mangkuk pak”
“Baik Neng”
Dua mangkuk bubur ayam sudah berada dalam tangan Nisa. Ia masuk ke rumahnya. Menyantap hangat bubur ayam bersama suaminya tercinta. Dan sesudah itu, ia duduk kembali dalam beranda. Duduk di sana. Suaminya tiba menghampiri. Nisa bangun dari duduknya dan menyalami dan mencium lembut tangan suaminya dan berakhirlah adegan mesra itu dengan ucapan assalamualaikum oleh suaminya dan tanggapan wa’alaikum salam oleh Nisa.
Orang-orang tidak tahu mengapa Nisa suka duduk dalam beranda. Bisa dikatakan ia jatuh cinta pada beranda. Namun apa yang membuatnya jatuh cinta. Di sana ia jarang duduk bersama suaminya. Tak ada tanaman hias kecuali bunga mawar yang sudah mulai layu. Tak ada taman dengan bak ikannya. Lantas apa yang membuatnya jatuh cinta pada beranda. Atau ia suka beranda alasannya ialah pengucapannya hampir sama dengan keranda. Dengan kata lain ia rindu terhadap surga. Taman firdaus Allah yang selalu dirindukan oleh umat-Nya yang beriman. Itu mungkin saja, kerena dunia penuh dengan kemungkinan.
Seorang nenek penjual sayur keliling menghampirinya.
“Kenapa suka duduk di beranda sendirian Neng? Tidak baik untuk seorang wanita bersuami ibarat Neng ini”
“Tidak kenapa-napa Nek!, saya sedang menunggu suami pulang”
“Kan sanggup di dalam rumah Neng!”
“Saya ingin suami saya ketika kembali dari bekerja, yang pertama dilihatnya ialah saya Nek. Saya akan merasa bersalah ketika suami saya kembali bekerja dan yang pertama dilihatnya ialah beranda rumah yang kosong”
Tak ada suatu tanggapan yang memuaskan dari Nisa. Nenek itu seakan tidak percaya dengan alasan tersebut. Semesra-mesranya suami istri, akan tampak berlebihan kalau seorang istri melewatkan hampir seluruh hari dengan selalu duduk di beranda hanya untuk menunggu suaminya tiba dari bekerja.
Kemudian tiba salah seorang ibu yang tak lain ialah tetangga Nisa yang berada di sebelah rumahnya. Dengan percakapan pengiring ringan yang tak terlalu lama. Ibu itu mengumpulkan sebuah keberanian yang telah lama dipendamnya untuk bertanya pada Nisa. Nisa hanya menjawab sama persis dengan tanggapan yang diberikan nenek penjual sayur tadi.
Tidak hanya satu dua orang itu yang suka menanyai ihwal kebiasaanya duduk di beranda. Banyak yang telah bertanya padanya, namun hanya tanggapan yang sama mereka terima. Tidak lebih dari tanggapan bahwa Nisa menunggu suaminya pulang.
Tidak puas dengan tanggapan yang sama. Maka orang-orang pun mencoba bertanya pada suami Nisa. Lelaki yang populer sikapnya yang agak keras itu pun menjawab sama dengan apa yang dikatakan Nisa. Dan inilah alasan menciptakan suami Nisa bersikap keras terhadap orang-orang di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya selalu mengejar-ngejar apa yang harus menjadi kepentingan pribadinya. Bersikap suuzon terhadap istri dan dirinya sendiri. Bahkan pernah ada suatu pembicaraan bahwa istrinya itu kurang waras dan kurang kerjaan alasannya ialah ia sebagian besar waktunya dihabiskan dengan hanya duduk di beranda dan sesekali membaca buku kecil yang selalu dibawanya. Suami mana yang tidak merasa panas dengan tuduhan ibarat ini? Namun sekeras apa pun dia, terhadap Nisa ia selalu lembut dan tak ada sekat yang membatasi kasih sayang untuk istrinya yang gres dinikahi satu tahun yang lalu.
Senja tiba bersama alunan bunyi azan magrib yang juga turut andil menidurkan mata ayam-ayam yang telah berkeliaran sehari penuh. Di beranda itu, Nisa menyambut suaminya kembali dari daerah kerja. Dengan anggun senyumnya, ia menjawab salam suaminya. Seolah-olah itu ialah senyum bidadari dari surga.
Setelah berganti baju, suaminya mengambil air wudhu dan disusul juga oleh Nisa. Mereka salat magrib secara jamaah. Rumah yang ditempati Nisa bersama suaminya memang kecil. Satu ruang tamu yang sempit, dapur, dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Untuk tetap mengingat dan beribadah kepada Tuhan. Mereka menimbulkan sebuah kamar untuk dijadikan daerah salat. Semacam musala pribadi di dalam rumah.
Selesai salat, keduanya makan malam.
“Ini mas, opor kesukaanmu buatan Bu Darsi yang sebelumnya sudah saya hangatkan”
“Bukan kesukaanku tapi kesukaanmu juga”
Tampak sekali kebahagiaan menyelimuti kedua pasang insan suami istri tersebut. Dan malam semakin meninggi. Sudah waktunya insan-insan terbuai dalam lelap.
Malam itu Nisa tak sanggup tidur dengan nyenyak. Di pandanginya wajah suaminya yang tertidur pulas di sampingnya di antara remang ruang. Hanya sekelumit cahaya dari luar yang masuk dari celah jendela kamar, alasannya ialah lampu kamar di matikan. Nisa gelisah dan tak sanggup tidur. Dengan menajamkan sorot matanya, ia mencoba melihat jam dinding yang tergantung di tembok.
Jam sudah mengatakan pukul dua dini hari. Dari beranjak tidur jam sembilan tadi. Ia hanya memejamkan mata namun alam sadarnya tetap terjaga. Suara-suara orang yang kerap bertanya ihwal kesukaanya di beranda itulah yang membuatnya gelisah. Intuisi menggerakkannya untuk keluar dari kamar. Ia menuju ke beranda. Tampak mata yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang. Entah aura apa yang ada dalam beranda itu, sehingga sanggup dengan gampang menyepuh dan melepaskan kegelisahan yang menggerogoti separuh malamnya.
Ia duduk memandangi jalanan yang melenggang sepi di depan rumahnya. Suara serangga malam menjadi lantunan alam yang meneduhkan pikirannya. Tak berapa lama, matanya berkaca-kaca. Satu dua tetes air mata mengalir melewati lembah pipinya yang begitu halus. Berulang kali ia mengucap astagfirullah… astagfirullah…. astagfirullah..!
Ia masuk ke dalam rumah. Dan tak lama kemudian ia kembali ke beranda dengan sajadah dan mukena putih bersih. Raut wajahnya tampak segar sesudah tersiram sucinya air wudhu. Di beranda itulah ia bertahajud. Bermunajat ihwal apa yang harus ia lakukan dalam hidupnya. Meminta ampunan dan ridha dari Allah semoga diberi petunjuk dan jalan yang lurus. Dalam sejuknya udara dini hari, ia melantunkan dzikir-dzikir kudus. Sepoi dini hari pun ikut bertasbih memuja penguasa alam dengan desis lirihnya. Doa Nisa beriring dengan tetes air mata. Suci air matanya, sesuci bening hatinya dalam meminta derma Allah.
Cahaya mentari pagi pun tiba kembali berkejar dengan kicauan burung-burung yang akan menjelajahi dunia. Nisa sudah duduk dalam berandanya. Dan pagi itu. Ia kembali di datangi seorang ibu dengan badan yang agak tambun. Jilbab coklat bau tanah yang dikenakan ibu itu,tampak sudah usang, namun tetap membawa sebuah aroma seorang muslimah. Seperti orang-orang yang mendatangi Nisa sebelumnya, ibu itu juga bertanya hal yang sama terhadap Nisa.
“Mengapa kamu suka duduk di beranda?”
Kali ini Nisa tak eksklusif menjawab dengan tanggapan yang sudah biasa ia lontarkan. Ia termenung lama. Wajah ibu itu ibarat wajah mendiang ibunya. Suara dari ibu itu ibarat telah meluluhkan hatinya untuk tidak menjawab dengan tanggapan yang biasa. Walaupun gotong royong tanggapan yang sering ia lontarkan tidak ada sekecilpun kebohongan di dalamnya. Namun ada satu tanggapan yang sangat berat ia lontarkan yang selalu dipendamnya selama ini. Dengan bunyi serak hasilnya ia menjawab pertanyaan itu.
“Saya suka di beranda alasannya ialah saya tidak suka di dapur”
“Jadi kamu tak sanggup memasak?”
Nisa mengangguk pelan seiring indah matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata.
Surakarta, 9 Mei 2008
Sebuah inspirator untuk seseorang calon pendamping hidup
gambar dari: i203.photobucket.com
Demikianlah Artikel Perempuan Dalam Beranda
Sekianlah artikel Perempuan Dalam Beranda kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Perempuan Dalam Beranda dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/05/perempuan-dalam-beranda.html