Cerita Anak Trofi Puisi
Wednesday, June 24, 2020
Edit
Cerita Anak Trofi Puisi - Hallo sahabat Rahasia Rumus Pendidikan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerita Anak Trofi Puisi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Cerita Anak, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Cerita Anak Trofi Puisi
link : Cerita Anak Trofi Puisi
oleh: Andi Dwi Handoko
Pagi-pagi sekali Nilam berangkat ke sekolah alasannya ada kiprah piket kebersihan. Sesampai di sekolah, suasana masih sepi.
Ketika Nilam berjalan menuju kelasnya, sekilas Nilam melihat ada sebuah pengumuman yang tertempel di papan pengumuman. Ternyata itu yaitu pengumuman lomba deklamasi puisi antarsekolah dasar tingkat kecamatan.
Tak berapa lama, Nila dikagetkan dengan kedatangan Bu Risty yang tiba-tiba menyapa Nilam.
“Selamat pagi Nilam!”
“Se…selamat pagi Bu Risty,” jawab Nilam agak kaget.
“Nggak usah kaget, Bu Risty bukan hantu kok! Pagi sekali datangmu?”
“Iya Bu. Hari ini aku ada kegiatan piket kebersihan. Jadi, berangkat lebih pagi. Eh, alasannya tiba terlalu pagi, aku baca-baca pengumuman lomba ini dulu.”
“Nilam tertarik ikut lomba deklamasi itu?”
“Lumayan tertarik Bu.”
“Kok lumayan? Harus ikut dong! Nilam kan hebat deklamasi puisi. Kalau kau tertarik, nanti waktu istirahat kau temui Ibu di kantor ya! Bu Risty yang mengoordinasi siswa yang mau ikut lomba itu.”
“Baik Bu.”
Setelah Nilam mencar ilmu selama tiga jam pelajaran, bel istirahat pun berbunyi. Nilam segera menuju ke kantor guru menemui Bu Risty untuk mengetahui lebih terang mengenai pengumuman lomba yang dibacanya tadi. Bu Risty yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah Nilam.
“Bagaimana Nilam? Mantap untuk ikut lomba tersebut?”
“Iya Bu.”
“Baiklah, kau isi formulir registrasi ini. Nanti Bu Risty yang akan mengirim formulir ini ke panitia lomba. Kamu latihan yang rajin biar menang.”
“Judul puisinya apa Bu?”
“Oya, puisi wajibnya berjudul “Doa” karya Chairil Anwar, kemudian puisi bebasnya terserah kau baca puisi ciptaan siapa saja.”
“Puisi ciptaan sendiri boleh Bu?”
“Boleh. Itu malah bagus. Persiapkan ya! Lomba diadakan ahad depan.”
“Baik Bu Risty.”
Waktu seminggu dipakai Nilam untuk rajin latihan deklamasi. Ketika berdiri tidur, ia latihan olah vokal dan pernapasan supaya suaranya lebih terang dan nyaring. Nilam tak segan-segan memakan kencur mentah. Kata ibunya, kencur sanggup menciptakan kualitas suaranya menjadi baik. Ia pun telah mempersiapkan satu puisi untuk dideklamasikan sebagai puisi bebas di lomba itu.
Akhirnya waktu lomba pun telah tiba. Hanya Nilam satu-satunya siswa yang mewakili sekolahnya untuk ikut dalam lomba tersebut. Nilam tiba ke kawasan lomba dengan ibunya. Bu Risty pun ikut mengantarkan Nilam. Setelah daftar ulang, Nilam menerima nomor urut 20 dari 30 peserta.
Setelah menunggu lama, Nilam pun dipanggil panitia untuk maju mendeklamasikan puisi. Tak ada rasa ragu dalam hati Nilam. Ia mendeklamasi puisi “Doa” karya Chairil Anwar dengan perenungan yang dalam. Suaranya pun terdengar mantap dan mimiknya tampak meresapi makna puisi tersebut. Selanjutnya Nilam membacakan puisi bebas, yakni puisi ciptaannya sendiri.
“Aku Ingin Seperti Ibu karya Nilam Estetika Dewi,” Nilam mulai membaca puisinya.
Puisi dan deklamasi Nilam sangat bagus. Karena terlalu menghayati puisinya, air mata menetes dari mata Nilam. Begitu juga ibunya, ia tampak menangis besar hati atas deklamasi puisi yang diciptakan Nilam sendiri. Tepuk tangan riuh menandai berakhirnya deklamasi dari Nilam.
Deklamasi dari 30 penerima pun telah usai. Saatnya juri memilih pemenangnya. Salah satu juri berdiri bersiap membacakan pengumuman pemenang lewat pengeras suara. Semua penerima lomba tampak tegang.
“Hasil lomba deklamasi hari ini. Juara I diraih oleh….Ni…Nisa Praticia…Juara II diraih oleh…Wahyu Pramuditya, dan juara III diraih oleh…Nilam Estetika Dewi.”
Tepuk tangan terdengar riuh. Wajah Nilam pun terlihat berbinar. Ia sanggup menjadi juara III dan gres kali ini ia menerima trofi juara. Ia mempersembahkan trofi puisinya untuk ibu tercintanya. Nilam besar hati menjadi juara III. Ia tak menyesal alasannya tidak menjadi juara I, tetapi ia bertekad bila ada lomba lagi, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi juara I.
“Butuh usaha keras untuk menggapai prestasi,” batin Nilam. - Oleh : Andi Dwi Handoko
Dimuat Solopos Edisi Minggu, 6 Maret 2011
Anda sekarang membaca artikel Cerita Anak Trofi Puisi dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/06/cerita-anak-trofi-puisi.html
Judul : Cerita Anak Trofi Puisi
link : Cerita Anak Trofi Puisi
Cerita Anak Trofi Puisi
Trofi Puisi
oleh: Andi Dwi Handoko
Pagi-pagi sekali Nilam berangkat ke sekolah alasannya ada kiprah piket kebersihan. Sesampai di sekolah, suasana masih sepi.
Ketika Nilam berjalan menuju kelasnya, sekilas Nilam melihat ada sebuah pengumuman yang tertempel di papan pengumuman. Ternyata itu yaitu pengumuman lomba deklamasi puisi antarsekolah dasar tingkat kecamatan.
Tak berapa lama, Nila dikagetkan dengan kedatangan Bu Risty yang tiba-tiba menyapa Nilam.
“Selamat pagi Nilam!”
“Se…selamat pagi Bu Risty,” jawab Nilam agak kaget.
“Nggak usah kaget, Bu Risty bukan hantu kok! Pagi sekali datangmu?”
“Iya Bu. Hari ini aku ada kegiatan piket kebersihan. Jadi, berangkat lebih pagi. Eh, alasannya tiba terlalu pagi, aku baca-baca pengumuman lomba ini dulu.”
“Nilam tertarik ikut lomba deklamasi itu?”
“Lumayan tertarik Bu.”
“Kok lumayan? Harus ikut dong! Nilam kan hebat deklamasi puisi. Kalau kau tertarik, nanti waktu istirahat kau temui Ibu di kantor ya! Bu Risty yang mengoordinasi siswa yang mau ikut lomba itu.”
“Baik Bu.”
Setelah Nilam mencar ilmu selama tiga jam pelajaran, bel istirahat pun berbunyi. Nilam segera menuju ke kantor guru menemui Bu Risty untuk mengetahui lebih terang mengenai pengumuman lomba yang dibacanya tadi. Bu Risty yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah Nilam.
“Bagaimana Nilam? Mantap untuk ikut lomba tersebut?”
“Iya Bu.”
“Baiklah, kau isi formulir registrasi ini. Nanti Bu Risty yang akan mengirim formulir ini ke panitia lomba. Kamu latihan yang rajin biar menang.”
“Judul puisinya apa Bu?”
“Oya, puisi wajibnya berjudul “Doa” karya Chairil Anwar, kemudian puisi bebasnya terserah kau baca puisi ciptaan siapa saja.”
“Puisi ciptaan sendiri boleh Bu?”
“Boleh. Itu malah bagus. Persiapkan ya! Lomba diadakan ahad depan.”
“Baik Bu Risty.”
Waktu seminggu dipakai Nilam untuk rajin latihan deklamasi. Ketika berdiri tidur, ia latihan olah vokal dan pernapasan supaya suaranya lebih terang dan nyaring. Nilam tak segan-segan memakan kencur mentah. Kata ibunya, kencur sanggup menciptakan kualitas suaranya menjadi baik. Ia pun telah mempersiapkan satu puisi untuk dideklamasikan sebagai puisi bebas di lomba itu.
Akhirnya waktu lomba pun telah tiba. Hanya Nilam satu-satunya siswa yang mewakili sekolahnya untuk ikut dalam lomba tersebut. Nilam tiba ke kawasan lomba dengan ibunya. Bu Risty pun ikut mengantarkan Nilam. Setelah daftar ulang, Nilam menerima nomor urut 20 dari 30 peserta.
Setelah menunggu lama, Nilam pun dipanggil panitia untuk maju mendeklamasikan puisi. Tak ada rasa ragu dalam hati Nilam. Ia mendeklamasi puisi “Doa” karya Chairil Anwar dengan perenungan yang dalam. Suaranya pun terdengar mantap dan mimiknya tampak meresapi makna puisi tersebut. Selanjutnya Nilam membacakan puisi bebas, yakni puisi ciptaannya sendiri.
“Aku Ingin Seperti Ibu karya Nilam Estetika Dewi,” Nilam mulai membaca puisinya.
Puisi dan deklamasi Nilam sangat bagus. Karena terlalu menghayati puisinya, air mata menetes dari mata Nilam. Begitu juga ibunya, ia tampak menangis besar hati atas deklamasi puisi yang diciptakan Nilam sendiri. Tepuk tangan riuh menandai berakhirnya deklamasi dari Nilam.
Deklamasi dari 30 penerima pun telah usai. Saatnya juri memilih pemenangnya. Salah satu juri berdiri bersiap membacakan pengumuman pemenang lewat pengeras suara. Semua penerima lomba tampak tegang.
“Hasil lomba deklamasi hari ini. Juara I diraih oleh….Ni…Nisa Praticia…Juara II diraih oleh…Wahyu Pramuditya, dan juara III diraih oleh…Nilam Estetika Dewi.”
Tepuk tangan terdengar riuh. Wajah Nilam pun terlihat berbinar. Ia sanggup menjadi juara III dan gres kali ini ia menerima trofi juara. Ia mempersembahkan trofi puisinya untuk ibu tercintanya. Nilam besar hati menjadi juara III. Ia tak menyesal alasannya tidak menjadi juara I, tetapi ia bertekad bila ada lomba lagi, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi juara I.
“Butuh usaha keras untuk menggapai prestasi,” batin Nilam. - Oleh : Andi Dwi Handoko
Dimuat Solopos Edisi Minggu, 6 Maret 2011
Demikianlah Artikel Cerita Anak Trofi Puisi
Sekianlah artikel Cerita Anak Trofi Puisi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cerita Anak Trofi Puisi dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/06/cerita-anak-trofi-puisi.html