Diorama Dongeng Di Sebuah Kota
Sunday, May 3, 2020
Edit
Diorama Dongeng Di Sebuah Kota - Hallo sahabat Rahasia Rumus Pendidikan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Diorama Dongeng Di Sebuah Kota, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Cerpen, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Diorama Dongeng Di Sebuah Kota
link : Diorama Dongeng Di Sebuah Kota

Matahari telah mengarahkan matanya ke jendela kamarku. Ruang-ruang gelap mulai berubah menjadi terang. Pikiranku masih terhanyut akan sebuah rencana untuk kembali ke kampung halaman. Di telingaku terlintas bayang lengkingan bunyi kereta api yang merapat dekat denganku. Suara deru roda besi seolah menjadi kidung pesona untuk dilantunkan. Getaran akhir roda besi yang menggerus rel sudah ku bayangkan sanggup memualkan perutku yang tak biasa sarapan.
Aku telah bersiap diri. Segalanya telah ku bereskan. Aku akan pulang mengenang kenangan. Aku akan mengosongkan semua barang milikku. Namun saya takkan mengosongkan jejak-jejakku yang terukir besar lengan berkuasa di sini. Terutama jejak yang membekas menjadi sebuah diorama bersama seorang gadis. Diorama pertemuan dalam satu hari saja. Dan ku kemas semua barang. Tampaknya kantor paket pengiriman barang di seberang jalan akan bertambah sibuk hari ini.
Langit mendung dan sesekali terdengar bunyi petir yang tak begitu memekakkan telinga. Dengan sebuah tas ransel besar dan padat, saya meninggalkan rumah kontrakan yang telah ku huni selama lima tahun lebih. Langkahku mantap meninggalkan kota ini. Jejak-jejakku berakhir dengan sambutan pintu taksi yang akan mengarahkanku ke stasiun.
Setiba di stasiun senen, tampak gerimis menyambutku dengan iringan kilat-kilat petir serupa blitz kamera fotografer. Tampaknya saya akan berlama-lama di stasiun ini alasannya berdasarkan pengumuman dari petugas stasiun, Kereta Api yang akan mengantarkanku ke Solo tiba terlambat. Maka ku habiskan waktu untuk menunggu dengan duduk ruang pojok lantai stasiun. Puluhan bahkan ratusan calon penumpang kereta berlalu lalang di depan tempatku duduk. Tas-tas besar mengiringi langkah-langkah mereka.
Memperhatikan semua itu, saya ibarat menerima sebuah hiburan tersendiri. Di sudut tempatku duduk, terlihat anak kecil merengek meminta es krim kepada ibunya. Tukang Koran mondar-mandir memperlihatkan korannya. Pedagang asongan memperlihatkan dagangannya kepada para calon penumpang. Sedangkan saya masih duduk sendiri membaca dan mencoba mengartikan setiap apa yang saya lihat.
Ada sepotong kenangan yang kemudian melintas dalam pikiranku. Tentang kota yangakan ku tinggalkan ini. Empat tahun, saya habiskan masa kuliahku di sini. Satu tahun lebih saya habiskan untuk sekedar melepas lelah sehabis mengejar gelar sarjana. Bukan saya merepotkan kedua orang tuaku yang ada di Solo sana. Setelah lulus kuliah, tak ada uang saku bagiku dari orang tua. Tapi saya sanggup bertahan di sini dengan gaji tulisan-tulisanku yang ku kirimkan dan dimuat di beberapa media masa. Aku tak sanggup mengelak lagi, ketika ayahku meminta pulang alasannya di Solo sana ada sebuah lowongan kerja yang cukup baik bagiku.
Gerimis telah berubah menjadi hujan. Angin yang sekali menampuk tetes air hujan, menjadi tempias yang kadang hingga di mukaku. Aku mencari tempat yang agak ke dalam supaya tak terkena tempias hujan. Tak sengaja tatapku bertemu dengan wajah yang tampaknya tak asing di memori otakku.
“Arini?!!!” saya berteriak kaku.
Sepintas ia melihatku. Dahinya berkerut menerangkan sedang berpikir untuk mengeja memori otaknya untuk menemukan balasan siapa aku. Kepalanya miring ke kiri, ibarat pose model dalam peragaan busana. Aku menghampirinya seraya menenteng tas ranselku yang tadi saya letakkan di lantai.
“Arini?” saya menegaskan lagi pertanyaan tanpa kata tanya itu.
“Monas?” ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan senyuman yang khas.
Kita berjabat tangan seraya tawa menggelegar keluar dari ekspresi kami. Tentu saja kami tertawa, alasannya ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan kata Monas. Itu yang menciptakan lucu alasannya namaku bukanlah Monas.
“Koko, apa kabar?”
Ia dengan tegas dan terperinci menyebut namaku. Aku menangkap wajahnya yang teduh dengan binar senyum yang begitu manis.
“Baik sekali Rin, , bagaimana denganmu?”
“Sama jug Ko, saya baik-baik saja”
“Mau kamana loe?”
“Mau ke Surabaya”
“Ouh…ke rumah nenekmu itu, liburan”
“Tidak, saya ada kiprah meliput di suatu tempat di Surabaya”
Tampaknya harapan orang di hadapanku sudah terwujud. Dulu keinginannya begitu besar lengan berkuasa untuk menjadi seorang yang berkecimpung di bidang jurnalis. Ternyata ia kini sudah menjadi seorang wartawan. Kita pun duduk di lantai.
“Ayo ke Monas lagi!” candanya padaku.
Dan memang itulah yang tetap mengingatkanku padanya. Mungkin ia juga begitu. Obrolan kita menuju kembali ke sebuah diorama yang pernah terukir ketika kita bertemu di monumen dengan puncak obor emas menyala itu.
***
Taman Monas dengan suguhan air mancur itu menjadi deskripsi latar ketika saya menangkap bias wajahnya kala itu. Aku duduk di atas rerumputan hijau di bawah pohon palem. Ia sendiri menatap gemericik air yang terus berotasi dari bawah ke atas, pun sebaliknya dari atas turun ke bawah lagi. Takjub mataku melihatnya serupa bidadari di taman surga. Namun saya yang memang bertipe orang pemalu, terlalu takut untuk mengajak kenalan.
Di taman itu hanya sejumput kepingan kisah antara saya dan ia. Kemudian berlalu begitu saja, ketika saya mulai naik ke atas Monas untuk menikmati Jakarta di pagi hari. Hari ahad agak terlalu ramai, namun pemandangan kota dari atas memperlihatkan jalan-jalan kota yang agak terlalu longgar tak ibarat hari kerja.
Di atas puncak Monas, jauh tatap pandangku menangkap gagahnya gunung Salak. Mataku seolah kaku dengan hipnotis keindahannya. Betapa agung karya Tuhan sang pencipta tersebut. Kemudian beralih ke bab utara, bahari jawa begitu terlihat biru teduh. Jalan-jalan kota pun menjadi sebuah alur-alur yang estetis. Mataku tetap terfokus pada skema alam tersebut. Hingga tak sadar ketika saya membalikkan tubuh, saya menyenggol seorang perempuan. Dan sebuah keajaiban, ia yakni wanita yang berada di taman, di balik air mancur.
“Maaf”
“Oh tidak apa-apa…” jawabnya sekilas dengan iringan senyum tipis yang bagus sekali.
Seolah Tuhan memang mempertemukan kami di sana. Ia memang seorang gadis yang terpelajar bicara. Ia mulai memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Namaku Arini”
Sungguh sebuah analogi durian runtuh di hadapanku yang mempunyai status laki-laki pemalu ini. Obrolan ringan mulai terjadi. Cerita perihal Monas menciptakan dialog kita semakin nyaman. Sambil menatap pemandangan kota, kita bertukar pikiran dan pengalaman. Ia bercerita perihal keinginannya menjadi seorang wartawan.
Setelah usang ngobrol, ku ketahui ia anak orisinil Jakarta. Tinggal di Kebon Jeruk. Dari nama tempat Kebon Jeruk itulah kita berdiskusi cukup panjang perihal Soe Hoek Gie. Ia sangat menyukai puisi dari buku catatan Soe Hoek Gie. Aku pun sanggup mengimbangi arah pembicaraannya, alasannya memang intinya saya yakni mahasiswa jurusan sastra.
Ia yakni gadis yang paling aneh bagiku. Ia yakni seorang gadis yang gres ku kenal namun begitu bersahabat denganku. Ketika di mulai jenuh di puncak Monas, kita turun untuk berpisah. Di dikala itulah diorama yang paling indah bagiku. Lift untuk turun ternyata sedang mengalami kerusakan sehingga dengan terpaksa kami memakai tangga darurat. Dari atas hingga bawah saya pegang tangannya. Bagiku hal itu ibarat menjelmakan diriku menjadi Rama yang dengan gagahnya menggandeng Sinta.
Hanya pada dikala itu kami bertemu, tiga tahun yang lalu, selanjutnya tak ada kabar. Ku ajak bertukar nomor telepon, tapi beliau menolak. Ia hanya menyerahkan alamatnya di kebon Jeruk kepadaku. Namun sehabis beberapa ahad saya menyempatkan untuk bertemu dengannya, ternyata rumahnya sudah pindah. Dan itulah sebuah kekecewaan yang cukup berarti bagiku.
Dan kini ia telah ada di sampingku. Bercerita lagi perihal diorama-diorama kehidupannya. Bercerita perihal kepindahannya ke tanah kakak dan sederet dongeng yang terangkum dalam tarian indah ekspresi kecilnya itu. Ia masih ibarat dahulu ketika saya bertemu dengannya di taman Monas. Masih ibarat bidadari di taman surga. Matanya , masih teduh, senyumnya masih manis, tawanya masih lembut terdengar. Ku kira bukanlah suatu kesalahan kalau selama ini saya merindukannya.
Obrolanku denganny apecah. Suara lengkingan kereta api jurusan Surabaya terdengar keras di telinga. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta direktur jurusan Surabaya sudah tiba sedangkan kereta ekonomi jurusan Solo masih menunggu sekitar lima belas menit lagi. Ia berdiri dari duduknya di sampingku. Aku pun menyusulnya bangkit. Sebuah pertemuan singkat. Dulu dengan kini tetaplah sama, menjadi sebuah diorama yang kecil namun sangat mengesankan bagiku.
Ia berlari kecil menyambut kereta. Aku mengucapkan salam perpisahan. Bagiku membuatkan kisah dengannya yakni suatu hal yang paling indah dari pada yang lainnya. Dari luar kereta mataku masih tertuju padanya. Ia duduk di tepi jendela. Dari ceritanya, ia memang paling suka duduk di tepi jendela ketika naik kereta atau bus Karena ia sanggup menikmati perjalananan. Aku pun membenarkan pernyataannya tersebut.
Suara lengkingan keretanya kembali berderu keras bertanda kereta akan berangkat. Aku melambaikan tangan, ia pun begitu. Ia tersenyum tipis. Manis sekali. Kereta mulai berjalan pelan. Ia terus melambaikan tangan padaku. Kemudian kereta semakin cepat. Jauh akibatnya menjauh. Kereta itu hanya membekaskan senyumnya dalam benakku. Aku hanya sanggup menatap bab kereta itu yang samakin usang semakin kecil. Hilang.
Dia yakni diorama yang mengisi ruang hatiku yang kosong. Aku berbalik menuju ruang tunggu stasiun. Hujan telah reda. Sungguh hujan yang teramat singkat ibarat kisahku dengannya. Dan saya gres tersadar, ada yang terlupa. Aku tak sempat meminta nomor teleponnya.
Solo, 10 November 2008
Anda sekarang membaca artikel Diorama Dongeng Di Sebuah Kota dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/05/diorama-dongeng-di-sebuah-kota.html
Judul : Diorama Dongeng Di Sebuah Kota
Diorama Dongeng Di Sebuah Kota

Matahari telah mengarahkan matanya ke jendela kamarku. Ruang-ruang gelap mulai berubah menjadi terang. Pikiranku masih terhanyut akan sebuah rencana untuk kembali ke kampung halaman. Di telingaku terlintas bayang lengkingan bunyi kereta api yang merapat dekat denganku. Suara deru roda besi seolah menjadi kidung pesona untuk dilantunkan. Getaran akhir roda besi yang menggerus rel sudah ku bayangkan sanggup memualkan perutku yang tak biasa sarapan.
Aku telah bersiap diri. Segalanya telah ku bereskan. Aku akan pulang mengenang kenangan. Aku akan mengosongkan semua barang milikku. Namun saya takkan mengosongkan jejak-jejakku yang terukir besar lengan berkuasa di sini. Terutama jejak yang membekas menjadi sebuah diorama bersama seorang gadis. Diorama pertemuan dalam satu hari saja. Dan ku kemas semua barang. Tampaknya kantor paket pengiriman barang di seberang jalan akan bertambah sibuk hari ini.
Langit mendung dan sesekali terdengar bunyi petir yang tak begitu memekakkan telinga. Dengan sebuah tas ransel besar dan padat, saya meninggalkan rumah kontrakan yang telah ku huni selama lima tahun lebih. Langkahku mantap meninggalkan kota ini. Jejak-jejakku berakhir dengan sambutan pintu taksi yang akan mengarahkanku ke stasiun.
Setiba di stasiun senen, tampak gerimis menyambutku dengan iringan kilat-kilat petir serupa blitz kamera fotografer. Tampaknya saya akan berlama-lama di stasiun ini alasannya berdasarkan pengumuman dari petugas stasiun, Kereta Api yang akan mengantarkanku ke Solo tiba terlambat. Maka ku habiskan waktu untuk menunggu dengan duduk ruang pojok lantai stasiun. Puluhan bahkan ratusan calon penumpang kereta berlalu lalang di depan tempatku duduk. Tas-tas besar mengiringi langkah-langkah mereka.
Memperhatikan semua itu, saya ibarat menerima sebuah hiburan tersendiri. Di sudut tempatku duduk, terlihat anak kecil merengek meminta es krim kepada ibunya. Tukang Koran mondar-mandir memperlihatkan korannya. Pedagang asongan memperlihatkan dagangannya kepada para calon penumpang. Sedangkan saya masih duduk sendiri membaca dan mencoba mengartikan setiap apa yang saya lihat.
Gerimis telah berubah menjadi hujan. Angin yang sekali menampuk tetes air hujan, menjadi tempias yang kadang hingga di mukaku. Aku mencari tempat yang agak ke dalam supaya tak terkena tempias hujan. Tak sengaja tatapku bertemu dengan wajah yang tampaknya tak asing di memori otakku.
“Arini?!!!” saya berteriak kaku.
Sepintas ia melihatku. Dahinya berkerut menerangkan sedang berpikir untuk mengeja memori otaknya untuk menemukan balasan siapa aku. Kepalanya miring ke kiri, ibarat pose model dalam peragaan busana. Aku menghampirinya seraya menenteng tas ranselku yang tadi saya letakkan di lantai.
“Arini?” saya menegaskan lagi pertanyaan tanpa kata tanya itu.
“Monas?” ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan senyuman yang khas.
Kita berjabat tangan seraya tawa menggelegar keluar dari ekspresi kami. Tentu saja kami tertawa, alasannya ia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan kata Monas. Itu yang menciptakan lucu alasannya namaku bukanlah Monas.
“Koko, apa kabar?”
Ia dengan tegas dan terperinci menyebut namaku. Aku menangkap wajahnya yang teduh dengan binar senyum yang begitu manis.
“Baik sekali Rin, , bagaimana denganmu?”
“Sama jug Ko, saya baik-baik saja”
“Mau kamana loe?”
“Mau ke Surabaya”
“Ouh…ke rumah nenekmu itu, liburan”
“Tidak, saya ada kiprah meliput di suatu tempat di Surabaya”
Tampaknya harapan orang di hadapanku sudah terwujud. Dulu keinginannya begitu besar lengan berkuasa untuk menjadi seorang yang berkecimpung di bidang jurnalis. Ternyata ia kini sudah menjadi seorang wartawan. Kita pun duduk di lantai.
“Ayo ke Monas lagi!” candanya padaku.
Dan memang itulah yang tetap mengingatkanku padanya. Mungkin ia juga begitu. Obrolan kita menuju kembali ke sebuah diorama yang pernah terukir ketika kita bertemu di monumen dengan puncak obor emas menyala itu.
***
Taman Monas dengan suguhan air mancur itu menjadi deskripsi latar ketika saya menangkap bias wajahnya kala itu. Aku duduk di atas rerumputan hijau di bawah pohon palem. Ia sendiri menatap gemericik air yang terus berotasi dari bawah ke atas, pun sebaliknya dari atas turun ke bawah lagi. Takjub mataku melihatnya serupa bidadari di taman surga. Namun saya yang memang bertipe orang pemalu, terlalu takut untuk mengajak kenalan.
Di taman itu hanya sejumput kepingan kisah antara saya dan ia. Kemudian berlalu begitu saja, ketika saya mulai naik ke atas Monas untuk menikmati Jakarta di pagi hari. Hari ahad agak terlalu ramai, namun pemandangan kota dari atas memperlihatkan jalan-jalan kota yang agak terlalu longgar tak ibarat hari kerja.
Di atas puncak Monas, jauh tatap pandangku menangkap gagahnya gunung Salak. Mataku seolah kaku dengan hipnotis keindahannya. Betapa agung karya Tuhan sang pencipta tersebut. Kemudian beralih ke bab utara, bahari jawa begitu terlihat biru teduh. Jalan-jalan kota pun menjadi sebuah alur-alur yang estetis. Mataku tetap terfokus pada skema alam tersebut. Hingga tak sadar ketika saya membalikkan tubuh, saya menyenggol seorang perempuan. Dan sebuah keajaiban, ia yakni wanita yang berada di taman, di balik air mancur.
“Maaf”
“Oh tidak apa-apa…” jawabnya sekilas dengan iringan senyum tipis yang bagus sekali.
Seolah Tuhan memang mempertemukan kami di sana. Ia memang seorang gadis yang terpelajar bicara. Ia mulai memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Namaku Arini”
Sungguh sebuah analogi durian runtuh di hadapanku yang mempunyai status laki-laki pemalu ini. Obrolan ringan mulai terjadi. Cerita perihal Monas menciptakan dialog kita semakin nyaman. Sambil menatap pemandangan kota, kita bertukar pikiran dan pengalaman. Ia bercerita perihal keinginannya menjadi seorang wartawan.
Setelah usang ngobrol, ku ketahui ia anak orisinil Jakarta. Tinggal di Kebon Jeruk. Dari nama tempat Kebon Jeruk itulah kita berdiskusi cukup panjang perihal Soe Hoek Gie. Ia sangat menyukai puisi dari buku catatan Soe Hoek Gie. Aku pun sanggup mengimbangi arah pembicaraannya, alasannya memang intinya saya yakni mahasiswa jurusan sastra.
Ia yakni gadis yang paling aneh bagiku. Ia yakni seorang gadis yang gres ku kenal namun begitu bersahabat denganku. Ketika di mulai jenuh di puncak Monas, kita turun untuk berpisah. Di dikala itulah diorama yang paling indah bagiku. Lift untuk turun ternyata sedang mengalami kerusakan sehingga dengan terpaksa kami memakai tangga darurat. Dari atas hingga bawah saya pegang tangannya. Bagiku hal itu ibarat menjelmakan diriku menjadi Rama yang dengan gagahnya menggandeng Sinta.
Hanya pada dikala itu kami bertemu, tiga tahun yang lalu, selanjutnya tak ada kabar. Ku ajak bertukar nomor telepon, tapi beliau menolak. Ia hanya menyerahkan alamatnya di kebon Jeruk kepadaku. Namun sehabis beberapa ahad saya menyempatkan untuk bertemu dengannya, ternyata rumahnya sudah pindah. Dan itulah sebuah kekecewaan yang cukup berarti bagiku.
Dan kini ia telah ada di sampingku. Bercerita lagi perihal diorama-diorama kehidupannya. Bercerita perihal kepindahannya ke tanah kakak dan sederet dongeng yang terangkum dalam tarian indah ekspresi kecilnya itu. Ia masih ibarat dahulu ketika saya bertemu dengannya di taman Monas. Masih ibarat bidadari di taman surga. Matanya , masih teduh, senyumnya masih manis, tawanya masih lembut terdengar. Ku kira bukanlah suatu kesalahan kalau selama ini saya merindukannya.
Obrolanku denganny apecah. Suara lengkingan kereta api jurusan Surabaya terdengar keras di telinga. Petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta direktur jurusan Surabaya sudah tiba sedangkan kereta ekonomi jurusan Solo masih menunggu sekitar lima belas menit lagi. Ia berdiri dari duduknya di sampingku. Aku pun menyusulnya bangkit. Sebuah pertemuan singkat. Dulu dengan kini tetaplah sama, menjadi sebuah diorama yang kecil namun sangat mengesankan bagiku.
Ia berlari kecil menyambut kereta. Aku mengucapkan salam perpisahan. Bagiku membuatkan kisah dengannya yakni suatu hal yang paling indah dari pada yang lainnya. Dari luar kereta mataku masih tertuju padanya. Ia duduk di tepi jendela. Dari ceritanya, ia memang paling suka duduk di tepi jendela ketika naik kereta atau bus Karena ia sanggup menikmati perjalananan. Aku pun membenarkan pernyataannya tersebut.
Suara lengkingan keretanya kembali berderu keras bertanda kereta akan berangkat. Aku melambaikan tangan, ia pun begitu. Ia tersenyum tipis. Manis sekali. Kereta mulai berjalan pelan. Ia terus melambaikan tangan padaku. Kemudian kereta semakin cepat. Jauh akibatnya menjauh. Kereta itu hanya membekaskan senyumnya dalam benakku. Aku hanya sanggup menatap bab kereta itu yang samakin usang semakin kecil. Hilang.
Dia yakni diorama yang mengisi ruang hatiku yang kosong. Aku berbalik menuju ruang tunggu stasiun. Hujan telah reda. Sungguh hujan yang teramat singkat ibarat kisahku dengannya. Dan saya gres tersadar, ada yang terlupa. Aku tak sempat meminta nomor teleponnya.
Solo, 10 November 2008
Demikianlah Artikel Diorama Dongeng Di Sebuah Kota
Sekianlah artikel Diorama Dongeng Di Sebuah Kota kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Diorama Dongeng Di Sebuah Kota dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/05/diorama-dongeng-di-sebuah-kota.html