Taman Kota, 06’02’09
Thursday, April 23, 2020
Edit
Taman Kota, 06’02’09 - Hallo sahabat Rahasia Rumus Pendidikan, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Taman Kota, 06’02’09, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Catatan Perjalanan, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Judul : Taman Kota, 06’02’09
link : Taman Kota, 06’02’09

Mendung hitam tebal sore itu tak jadi menjatuhkan hujan lebat yang lama. Beberapa menit saja hujan itu turun dengan derasnya. Namun kemudian menjadi pendar gerimis yang menyejukkan. Sejenak kemudian hilang, hanya bekasnya telah mengubah jalan, atap rumah, tanah terlihat basah. Namun gara-gara mendung itu saya membatalkan keinginanku untuk sekadar termangu di taman kota. Aku takut termangu di tengah-tengah hujan. Begitu kiraku. Aku pulang ke dalam istana peristirahatanku. Motorku ku masukkan ke tempatnya. Aku melepas lelah, berbaring di kasur hangat, namun mata tak bisa terpejam. Hingga saya mengantar senja ke dalam lelap peraduannya. Malam.
Hingga bakda isya’ saya tak beranjak dari kamar walau malam itu langit mulai cerah. Walau mendung tipis kadang berseliweran di langit, namun cahaya bulan bisa menerangi malam yang mulai kelam. Cahaya bulan menyerupai memberi pertanyaan pada insan yang memandangnya. Dan insan pun hanya bisa berdecak pasrah dikala tak bisa untuk menjawab pertanyaan itu.
Aku mulai bosan dengan dinding dan langit-langit kamarku. Aku beranjak pelan, mengeluarkan motorku dan menembus malam yang menyekat kota ini. lampu-lampu jalan menyerupai nyala lilin yang menemani perjalananku. Tak lupa ku sempatkan membeli sebungkus coklat dan sebungkus TARO (maaf bukannya promosi). dan sesudah itu, hanya satu tujuan: Taman Kota, Tirtonadi.
Aku hingga di taman itu kira-kira setengah Sembilan. Menikmati kesendirian ialah tujuanku ke sana. Aku masuk ke dalam taman tersebut. Bagian barat suasananya temaram alasannya ialah lampu tidak menyala. tampak kontras sekali dengan cuilan timur, lampu taman menyala dengan terang. Ada cewek pemuda di sela langkahku berjalan. Mereka tak terusik dengan kehadiranku. Hingga saya datang pada sebuah bangunan yang melingkar,. Kira-kira itu ialah bangunan untuk kolam air mancur, namun belum difungsikan. Aku duduk disamping utara menghadap sungai.
Tiba-tiba ada seseorang lewat di pinggirku. Ia melihat-lihat ke arahku (tapi saya gak kepikiran jikalau orang itu penjambret atau penodong). Dia kemudian menghampiriku dan bertanya “Gur dhewe to mas?” saya jawab “Ho oh mas, emang ngopo mas?” ia jawab “ohh..gak popo”…sepintas kemudian orang itu pergi. Aku tak tau siapa orang itu. Aku kembali dalam kesendirianku.
Kurasa saya ingin jalan-jalan dulu. Aku ingin turun dulu, namun sesudah di depan tangga turun. Aku kaget. Ada dua pemuda cewek sedang duduk berpelukan dan mungkin cixx-xxxxan(sensor). Aku segera balik dan mengurungkan niatku untuk jalan-jalan di sekitar taman.Aku kembali ke tempatku semula namun agak bergeser ke barat. Dunia anak muda jaman kini memang sungguh menciptakan kepala geleng-geleng. Padahal secara aturan tindakan mereka itu sanggup dijerat dengan eksekusi pidana. Tindakan pelukan dan ciuman di daerah umum bisa dijerat aturan dan dipenjara selama dua tahun delapan bulan (2 TAHUN 8 BULAN). Kalau tidak percaya buka saja kitab undang-undang hukum pidana cuilan XIV pasal 281.
Aku tak memperdulikan apa yang gres saja ku lihat. Aku tengah menikmati kesendirianku. Sendiri di taman menikmati udara malam dan gemericik bunyi air sungai yang beberapa hari kemudian tampaknya banjir alasannya ialah di tengah kali saya lihat serumpun bambu menahan arus. Seharusnya rumpun bambu itu tidak ada di sana.
Aku mulai mengeluarkan coklatku. Aku menikmati coklat anggun sembari memandang langit yang berhias bulan yang sesekali tertutup mendung tipis. Aku lihat beberapa kali pesawat dengan lampunya yang berkelip di langit sebelah barat daya. Aku rasa saya memperoleh hiburan tersendiri dengan suasana menyerupai ini.
Di sebelah baratku muncul lagi pemuda cewek. Mereka duduk agak bersahabat denganku namun terhalang pohon. Aku melihat ke cuilan timur bawah. Yah..cowok cewek tadi kini berdiri dan terlihat olehku. Mereka berpelukkan sambil berputar-putar, menyerupai adegan film india. Namun itu cukup menggangguku.
Tiba-tiba saya mendengar tangis. Ternyata itu tangis dari cewek yang berada di sebelah baratku. Entah mengapa ia menangis saya tak tahu. Sungguh bencana yang sangat kontras. Di sebelah timurku ada sepasang insan tertawa cecikikan dengan ulah yang mereka perbuat, sedangkan sebelah baratku ada cewek yang sedang menangis.
Aku semakin menikmati kesendirianku. Aku ambil handphoneku dan mengenakan headset. Ku putar alunan lagu dari erros dan okta, cahaya bulan ost Gie. Sungguh angat menyentuhku. Alunan lagu itu menyeretku ke dalam dunia rasa yang lain. Cahaya bulan yang remang-remang di malam itu menambah suasana menjadi tenang. Apalagi diselingi puisi dari gie (Nicholas saputra) yang mennyatakan bahwa “sejarah dunia ialah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemereasan sejarah tidak ada?”. Aku mengeluarkan TAROku dan menghabiskannya sendiri.
Kemudian saya pulang. bayar parkir dulu Rp. 1000,-
Anda sekarang membaca artikel Taman Kota, 06’02’09 dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/04/taman-kota-060209.html
Judul : Taman Kota, 06’02’09
Taman Kota, 06’02’09

Mendung hitam tebal sore itu tak jadi menjatuhkan hujan lebat yang lama. Beberapa menit saja hujan itu turun dengan derasnya. Namun kemudian menjadi pendar gerimis yang menyejukkan. Sejenak kemudian hilang, hanya bekasnya telah mengubah jalan, atap rumah, tanah terlihat basah. Namun gara-gara mendung itu saya membatalkan keinginanku untuk sekadar termangu di taman kota. Aku takut termangu di tengah-tengah hujan. Begitu kiraku. Aku pulang ke dalam istana peristirahatanku. Motorku ku masukkan ke tempatnya. Aku melepas lelah, berbaring di kasur hangat, namun mata tak bisa terpejam. Hingga saya mengantar senja ke dalam lelap peraduannya. Malam.
Hingga bakda isya’ saya tak beranjak dari kamar walau malam itu langit mulai cerah. Walau mendung tipis kadang berseliweran di langit, namun cahaya bulan bisa menerangi malam yang mulai kelam. Cahaya bulan menyerupai memberi pertanyaan pada insan yang memandangnya. Dan insan pun hanya bisa berdecak pasrah dikala tak bisa untuk menjawab pertanyaan itu.
Aku mulai bosan dengan dinding dan langit-langit kamarku. Aku beranjak pelan, mengeluarkan motorku dan menembus malam yang menyekat kota ini. lampu-lampu jalan menyerupai nyala lilin yang menemani perjalananku. Tak lupa ku sempatkan membeli sebungkus coklat dan sebungkus TARO (maaf bukannya promosi). dan sesudah itu, hanya satu tujuan: Taman Kota, Tirtonadi.
Aku hingga di taman itu kira-kira setengah Sembilan. Menikmati kesendirian ialah tujuanku ke sana. Aku masuk ke dalam taman tersebut. Bagian barat suasananya temaram alasannya ialah lampu tidak menyala. tampak kontras sekali dengan cuilan timur, lampu taman menyala dengan terang. Ada cewek pemuda di sela langkahku berjalan. Mereka tak terusik dengan kehadiranku. Hingga saya datang pada sebuah bangunan yang melingkar,. Kira-kira itu ialah bangunan untuk kolam air mancur, namun belum difungsikan. Aku duduk disamping utara menghadap sungai.
Tiba-tiba ada seseorang lewat di pinggirku. Ia melihat-lihat ke arahku (tapi saya gak kepikiran jikalau orang itu penjambret atau penodong). Dia kemudian menghampiriku dan bertanya “Gur dhewe to mas?” saya jawab “Ho oh mas, emang ngopo mas?” ia jawab “ohh..gak popo”…sepintas kemudian orang itu pergi. Aku tak tau siapa orang itu. Aku kembali dalam kesendirianku.
Aku tak memperdulikan apa yang gres saja ku lihat. Aku tengah menikmati kesendirianku. Sendiri di taman menikmati udara malam dan gemericik bunyi air sungai yang beberapa hari kemudian tampaknya banjir alasannya ialah di tengah kali saya lihat serumpun bambu menahan arus. Seharusnya rumpun bambu itu tidak ada di sana.
Aku mulai mengeluarkan coklatku. Aku menikmati coklat anggun sembari memandang langit yang berhias bulan yang sesekali tertutup mendung tipis. Aku lihat beberapa kali pesawat dengan lampunya yang berkelip di langit sebelah barat daya. Aku rasa saya memperoleh hiburan tersendiri dengan suasana menyerupai ini.
Di sebelah baratku muncul lagi pemuda cewek. Mereka duduk agak bersahabat denganku namun terhalang pohon. Aku melihat ke cuilan timur bawah. Yah..cowok cewek tadi kini berdiri dan terlihat olehku. Mereka berpelukkan sambil berputar-putar, menyerupai adegan film india. Namun itu cukup menggangguku.
Tiba-tiba saya mendengar tangis. Ternyata itu tangis dari cewek yang berada di sebelah baratku. Entah mengapa ia menangis saya tak tahu. Sungguh bencana yang sangat kontras. Di sebelah timurku ada sepasang insan tertawa cecikikan dengan ulah yang mereka perbuat, sedangkan sebelah baratku ada cewek yang sedang menangis.
Aku semakin menikmati kesendirianku. Aku ambil handphoneku dan mengenakan headset. Ku putar alunan lagu dari erros dan okta, cahaya bulan ost Gie. Sungguh angat menyentuhku. Alunan lagu itu menyeretku ke dalam dunia rasa yang lain. Cahaya bulan yang remang-remang di malam itu menambah suasana menjadi tenang. Apalagi diselingi puisi dari gie (Nicholas saputra) yang mennyatakan bahwa “sejarah dunia ialah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemereasan sejarah tidak ada?”. Aku mengeluarkan TAROku dan menghabiskannya sendiri.
Kemudian saya pulang. bayar parkir dulu Rp. 1000,-
Demikianlah Artikel Taman Kota, 06’02’09
Sekianlah artikel Taman Kota, 06’02’09 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Taman Kota, 06’02’09 dengan alamat link https://rahasiarumuspendidikan.blogspot.com/2020/04/taman-kota-060209.html